BENYAMIN SUEB
PENGERTIAN
Musik Seriosa, Riwayatmu Doeloe
SERIOSA INDONESIA
Karya: Iskandar, Mochtar Embut dll.
Penyanyi: Prana Wengrum Katamsi
Iringan piano Sunarto Sunaryo
Produksi: Irama Mas.
SEPULUH tahun silam, orang seriosa sudah pada cemas. Musik
mereka akan menghilang -- kecuali pemerintah berbuat jasa.
Benar: ketika tahun lalu acara Bintang Radio dan Televisi --
yang sebelumnya terbengkalai, meski pernah dicoba dihidupkan
lagi -- kembali digalakkan, dan seriosa juga diangkat, tampak
benar medan yang sepi itu.
Pengikut lomba ternyata sedikit. Dan pemenangnya pun, untuk
golongan wanita, dia-dia juga: Prana Wengrum Katamsi, sekarang
35 tahun, yang sebelumnya pernah jadi juara enam kali.
Dalam suasana itu juga, beredarnya kaset sang juara baru-baru
ini, yang berisi 15 lagu, masih terkesan sebagai usaha
'perjuangan'.
Memang, sebelum ini sudah muncul kaset sejenis yang mengantarkan
suara Masnun. Tapi kumpulan yang sebuah ini, dikeluarkan oleh
Lowrey Organ, dan diiringi instrumen keluaran pabrik itu pula,
masih lebih dipahami sebagai sekalian usaha promosi produk
perusahaan. Tapi baiklah. Akankah hidangan Prana Wengrum
(bersama Masnun), mampu menyibakkan keriuhan lagu pop di tanah
air, dan mendapat sedikit tempat?
Jenis "hiburan"
Orang teringat tahun-tahun 50-an dan awal 60-an, ketika lagu
seriosa bukan melulu milik "kalangan elite" seperti yang agaknya
sering diduga kini. Di zaman ketika Koes Bersaudara belum
terdengar, ketika Rahmat Kartolo atau Pepen dan Alfian baru
menginjak usia ancang-ancang, para pemuda menyanyi di kamar
mandi dengan seriosa Iskandar.
Seriosa, seperti juga dua jenis lain - langgam alias 'hiburan',
dan keroncong - memang jenis lagu "sebelum zaman band". Juga
jenis lagu yang (kadang-kadang bersama keroncong) lahir di
tengah ideologi musik sebagai benar-benar 'seni suara: Di situ
dihadapkan pertama kali tuntutan vokal, dengan tekniknya yang
khusus.
Seni itu sulit. Demikian kira-kira pandangan itu. Begitupun
seriosa. Dengarlah nomor-nomor yang dibawakan Wengrum sendiri.
Cita-Cita dari Mochtar Embut, misalnya, boleh mewakili melodi
yang sukar -- di samping memang kurang populer. Atau Embun dari
G.R.W. Sinsoe, yang di samping merdu juga boleh dianggap susah
dalam metrum. Tapi juga Puisi Rumah Bambu F.X. Sutopo, atau
bahkan umumnya nomor-nomor seriosa yang 'top' -- semuanya tampak
menjelajah kemungkinan memanfaatkan pelik-pelik prestasi vokal
itu bagi memunculkan hasil yang "ideal", tinggi, terstilir alias
tidak sehari-hari.
Dan dalam 'ujian' itu, Prana Wengrum lulus. Dari nyonya dokter
ini bisa diterima gebrakan suara yang bahkan harus dinilai
sebagai paling "meraja" - dibanding rekan-rekan lainnya. Tak
hanya keberhasilan teknis -- melewati "tikungan-tikungan
berbahaya" tanpa sedikit lejitan. Dengan hanya iringan piano
yang sugestif (Sunarto Sunaryo), suara itu telah menjadikan
semuanya hidup, gempal, dan bersih.
Di sini bedanya dengan kaset Masnun. Suaranya yang lebih gemulai
barangkali memang pantas direngkuh oleh kebasahan iringan sebuah
organ -- yang dimainkan oleh komponis Sudharnoto. Tapi di
samping "pameran vokal" tak muncul, yang berhembus kemudian
adalah suasana yang hampir adem ayem belaka.
Masnun memang seorang juara keroncong, nyanyian dengan melodi
yang lancar itu. Ketika ia membawakan nomor Embun yang sama
ciptaan Sinsoc, misalnya, kelihatan perbedaan. Pala Masnun
metrum terasa menjadi sederhana, sementara pada Wengrum
cegatan-cegatan justru merupakan tantangan yang agaknya
digemari.
Sebaliknya, sementara ucapan Masnun masih jelas, pada Wengrum
kejelasan terasa bukan menjadi yang paling penting.
Bisa dipaham. Ada crescendo, keraslemah suara yang tak biasa
dituntut dalam lagu-lagu "hiburan". Ada vibrasi yang penuh, yang
bukan sekedar alun keroncong atau cengkok Melayu. Di samping
itu stilisasi banyak dikenakan pada ucapan sendiri. Paling tidak
pada Wengrum, dua kata misalnya disatukan pengucapannya untuk
memelihara kontinuitas alun. Untung saja bukan "pembaratan"
diksi seperti pada banyak soprano lain: penambahan h di belakang
k atau t, misalnya.
Betapapun, suara Wengrum dalam kaset terhitung masih lebih jelas
-- dari misalnya suara Surti Suwandi, pendekar lain. Konsonan
tidak sampai tenggelam dalam vibrasi dan gaung. Keunggulan lain,
seperti juga pada Surti: teknik tidak terasa sebagai 'bikinan'.
Emosi lagu mengalir dengan cukup -- dan bukan sekedar
"keahlian".
Himne Tanah Air
Itu terutama penting untuk lagu-lagu yang memang terkenal merdu
dalam khazanah kita. Kisah Mawar di Malam Hari Iskandar, Derita
Sudharnoto, Tempat Bahagia Binsar Sitompul atau Lagu Untuk
Anakku Sjaiful Bachri, misalnya, dibawakan cukup utuh dengan
rohnya.
Prana Wengrum, siapa tahu, penyanyi seriosa kita yang terbagus
--yang hanya boleh ditandingi oleh misalnya Catherina
Wiriadinata, soprano opera kita yang sedikit itu. Tapi yang
lebih penting, selalu terasa ada yang bening, dan betapa pun
khusuk, di sini. Ada yang romantis dan sentimental, yang luhur
dan dikejar, ada ketulusan, dan selalu sebuah ide. Seperti juga
lagu-lagu koor atau himne tanah air kita -- yang juga tidak
dikenal angkatan sekarang.
Karya: Iskandar, Mochtar Embut dll.
Penyanyi: Prana Wengrum Katamsi
Iringan piano Sunarto Sunaryo
Produksi: Irama Mas.
SEPULUH tahun silam, orang seriosa sudah pada cemas. Musik
mereka akan menghilang -- kecuali pemerintah berbuat jasa.
Benar: ketika tahun lalu acara Bintang Radio dan Televisi --
yang sebelumnya terbengkalai, meski pernah dicoba dihidupkan
lagi -- kembali digalakkan, dan seriosa juga diangkat, tampak
benar medan yang sepi itu.
Pengikut lomba ternyata sedikit. Dan pemenangnya pun, untuk
golongan wanita, dia-dia juga: Prana Wengrum Katamsi, sekarang
35 tahun, yang sebelumnya pernah jadi juara enam kali.
Dalam suasana itu juga, beredarnya kaset sang juara baru-baru
ini, yang berisi 15 lagu, masih terkesan sebagai usaha
'perjuangan'.
Memang, sebelum ini sudah muncul kaset sejenis yang mengantarkan
suara Masnun. Tapi kumpulan yang sebuah ini, dikeluarkan oleh
Lowrey Organ, dan diiringi instrumen keluaran pabrik itu pula,
masih lebih dipahami sebagai sekalian usaha promosi produk
perusahaan. Tapi baiklah. Akankah hidangan Prana Wengrum
(bersama Masnun), mampu menyibakkan keriuhan lagu pop di tanah
air, dan mendapat sedikit tempat?
Jenis "hiburan"
Orang teringat tahun-tahun 50-an dan awal 60-an, ketika lagu
seriosa bukan melulu milik "kalangan elite" seperti yang agaknya
sering diduga kini. Di zaman ketika Koes Bersaudara belum
terdengar, ketika Rahmat Kartolo atau Pepen dan Alfian baru
menginjak usia ancang-ancang, para pemuda menyanyi di kamar
mandi dengan seriosa Iskandar.
Seriosa, seperti juga dua jenis lain - langgam alias 'hiburan',
dan keroncong - memang jenis lagu "sebelum zaman band". Juga
jenis lagu yang (kadang-kadang bersama keroncong) lahir di
tengah ideologi musik sebagai benar-benar 'seni suara: Di situ
dihadapkan pertama kali tuntutan vokal, dengan tekniknya yang
khusus.
Seni itu sulit. Demikian kira-kira pandangan itu. Begitupun
seriosa. Dengarlah nomor-nomor yang dibawakan Wengrum sendiri.
Cita-Cita dari Mochtar Embut, misalnya, boleh mewakili melodi
yang sukar -- di samping memang kurang populer. Atau Embun dari
G.R.W. Sinsoe, yang di samping merdu juga boleh dianggap susah
dalam metrum. Tapi juga Puisi Rumah Bambu F.X. Sutopo, atau
bahkan umumnya nomor-nomor seriosa yang 'top' -- semuanya tampak
menjelajah kemungkinan memanfaatkan pelik-pelik prestasi vokal
itu bagi memunculkan hasil yang "ideal", tinggi, terstilir alias
tidak sehari-hari.
Dan dalam 'ujian' itu, Prana Wengrum lulus. Dari nyonya dokter
ini bisa diterima gebrakan suara yang bahkan harus dinilai
sebagai paling "meraja" - dibanding rekan-rekan lainnya. Tak
hanya keberhasilan teknis -- melewati "tikungan-tikungan
berbahaya" tanpa sedikit lejitan. Dengan hanya iringan piano
yang sugestif (Sunarto Sunaryo), suara itu telah menjadikan
semuanya hidup, gempal, dan bersih.
Di sini bedanya dengan kaset Masnun. Suaranya yang lebih gemulai
barangkali memang pantas direngkuh oleh kebasahan iringan sebuah
organ -- yang dimainkan oleh komponis Sudharnoto. Tapi di
samping "pameran vokal" tak muncul, yang berhembus kemudian
adalah suasana yang hampir adem ayem belaka.
Masnun memang seorang juara keroncong, nyanyian dengan melodi
yang lancar itu. Ketika ia membawakan nomor Embun yang sama
ciptaan Sinsoc, misalnya, kelihatan perbedaan. Pala Masnun
metrum terasa menjadi sederhana, sementara pada Wengrum
cegatan-cegatan justru merupakan tantangan yang agaknya
digemari.
Sebaliknya, sementara ucapan Masnun masih jelas, pada Wengrum
kejelasan terasa bukan menjadi yang paling penting.
Bisa dipaham. Ada crescendo, keraslemah suara yang tak biasa
dituntut dalam lagu-lagu "hiburan". Ada vibrasi yang penuh, yang
bukan sekedar alun keroncong atau cengkok Melayu. Di samping
itu stilisasi banyak dikenakan pada ucapan sendiri. Paling tidak
pada Wengrum, dua kata misalnya disatukan pengucapannya untuk
memelihara kontinuitas alun. Untung saja bukan "pembaratan"
diksi seperti pada banyak soprano lain: penambahan h di belakang
k atau t, misalnya.
Betapapun, suara Wengrum dalam kaset terhitung masih lebih jelas
-- dari misalnya suara Surti Suwandi, pendekar lain. Konsonan
tidak sampai tenggelam dalam vibrasi dan gaung. Keunggulan lain,
seperti juga pada Surti: teknik tidak terasa sebagai 'bikinan'.
Emosi lagu mengalir dengan cukup -- dan bukan sekedar
"keahlian".
Himne Tanah Air
Itu terutama penting untuk lagu-lagu yang memang terkenal merdu
dalam khazanah kita. Kisah Mawar di Malam Hari Iskandar, Derita
Sudharnoto, Tempat Bahagia Binsar Sitompul atau Lagu Untuk
Anakku Sjaiful Bachri, misalnya, dibawakan cukup utuh dengan
rohnya.
Prana Wengrum, siapa tahu, penyanyi seriosa kita yang terbagus
--yang hanya boleh ditandingi oleh misalnya Catherina
Wiriadinata, soprano opera kita yang sedikit itu. Tapi yang
lebih penting, selalu terasa ada yang bening, dan betapa pun
khusuk, di sini. Ada yang romantis dan sentimental, yang luhur
dan dikejar, ada ketulusan, dan selalu sebuah ide. Seperti juga
lagu-lagu koor atau himne tanah air kita -- yang juga tidak
dikenal angkatan sekarang.